BAB XII
Tokoh – Tokoh Tasawuf Beserta Ajarannya
A.
Tokoh – Tokoh Tasawuf
1.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali. Ia dipanggil
al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada
tahun 450 H/1058 M.
Di dalam tasawufnya, al-Ghazali
memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah
dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu,
dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi filsuf Islam,
sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan
tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju
tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta
membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala
sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok
sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik,
jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling
bersih.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat.
Ia menganggap bahwa syathahat
mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah,
hanya mengungkapkan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat
disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil imajinasi sendiri. Ia sangat menolak paham hulul dan ittihad.
Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan
diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya, jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal,
sedangkan buahnya adalah moralitas[1].
Dalam masalah fiqih, beliau seorang
yang bermadzhab Syafi’i. Imam Adz Dzahabi menjelaskan madzhab fiqih beliau
dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz Zaman, Zainuddin
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi aqidah beliau
sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermadzhab Asy’ariyah. Banyak
membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang
menyelisihi madzhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam madzhab
tersebut. Oleh karena itu, beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal
dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara
pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama
Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru
dalam madzhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara
yang cukup mudah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang
diyakini beliau? Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga
aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang
difanatikannya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang
dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman
yang setara pengetahuannya. Bila demikian, al-Ghazali menyembunyikan sisi
khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan
uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasiaan aqidahnya.
Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum
cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang
lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 2/628).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada
akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah
meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan
Muslim.
a)
Riwayat
Hidup
Al-Muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di Basrah dan mengabiskan
sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Al-harist Al-Muhasibi. Ia mengambangkan psiokologi moral yang paling ketat dan
paling berpengaruh di tradisi tasawuf. psikologi Al-Muhasibi bias ditemukan
dalam karya-karya Abu Tholib Al-Makki, yang mempengaruhi pemikiran Abu Hamdi
Al-Ghozali. Hingga saat ini karya utama dari Al-Muhasibi adalah kitab
Al-Ar’ayat Lilhukukillah yang mendalami berbagai bentuk idealisime tentang
berbagai bentuk egeolisme.
b)
Pandangan
Tasawuf Al-Muhasibi
Al-harist bin Asad Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak
keluar dari keraguan yang dihadapinya. tatkala mengambil madzhab-madzhab yang
dianut umat islam, Al-muhasibi menemukan kelompok di dalamnya. di antara
mereka, ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. namun jumlah
mereka sangat sedikit. sebagian besar dari mereka adalah ornag-orang yang
mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
Al-muhasibi
memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketaqwaan kepada
Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan meneladani Rasulullah.
menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal di atas, maka seseorang
akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf.Ia
akan meneladani rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
c)
Pandangan
Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-muhasibi
mengatakan, ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasar pada
kitab dan sunah. Al-muhasibi menjelaskan tahapan – tahapan ma’rifat sebagai
berikut :
a.
Taat,
yaitu, wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah.
b.
Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
c.
Manusia
akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini di simpan Allah
d.
Apa
yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana yang menyebabkan baka’
d)
Pandangan
Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Khauf
dan Raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna, bila berpegang
pada Al-Qur’an dan Assunah. dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan
ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa
Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an
jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
3.
Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia
Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan
ilmuwan.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah
tentang wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian istilah wahdah
al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentral nya itu, tidaklah berasal
dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang
ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat.
Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal
itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan
Dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Kalau antara khalik dan
makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut Ibn Arabi,
manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa
keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain.
Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua
sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya
satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Makhluk diciptakan oleh Khalik
(Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang
berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak mempunyai wujud,
seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai
Wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung
pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan
atau bayangan wujud yang hakikat Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan
tempat tajalli dan madzhar (penampakan) Tuhan. Alam ini merupakan
madzhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa
alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk
Dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak
dikenal oleh siapapun.[4]
4.
Al-Jilli
Al-Jilli mempunyai nama asli Abdul
Karim bin Ibrahim al Jilli. Ia lahir di Jilan (Gilan) sebelah selatan Laut
Kaspia pada tahun 1365 M, dan wafat pada tahun 1417 M. Menurut sejarah ia
pernah mengadakan perjalanan sampai ke India pada tahun 1387 M, kemudian
belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani. Seorang pendiri dan
pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal.
Ajaran tasawuf al-Jilli yang
terkenal adalah konsep insan kamil (manusia sempurna). Menurutnya, insan kamil
adalah nuksah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, dan mendengar. Manusia
(Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Pada hakikat penciptaan manusia,
Adam merupakan insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya
terdapat sifat dan nama ilahiah.
Lebih lanjut, al-Jilli mengemukakan
bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang
seseorang tidak akan bisa melihat dirinya, kecuali dengan menggunakan cermin
itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya
kecuali melalui cermin insan kamil.
Insan kamil menurut konsep al-Jilli
adalah perencanaan zat Allah (nuktah al haqq) melalui proses tajalli,
sekaligus proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW. Insan kamil
bagi al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak al
wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan
untuk selamanya. Di samping itu, insan kamil dapat muncul dan menampakkan
dirinya dalam berbagai macam.
Menurut al-Jilli, seseorang yang
ingin mencapai kedekatan dengan Allah, maka ia harus menempuh jalan panjang
berupa stasiun-stasiun atau dalam istilah tasawuf disebut maqamat. Sebagai
seorang sufi, al-Jilli dengan konsep insan kamilnya merumuskan beberapa maqam
yang harus dilalui oleh seorang sufi, yang dia namakan al-martabah (jenjang
atau tingkatan). Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
a.
Islam,
yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak
hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih
dalam.
b.
Iman,
yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan
dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam
gaib dan alam yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih
tinggi.
c.
Salat,
yakni dengan maqam ini seorang sufi akan mencapai tingkat ibadah yang terus
menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah pada
maqam ini adalah untuk mencapai miqtah ilahiah pada lubuk hati sang hamba,
sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan menaati syariat Tuhan dengan baik.
d.
Ihsan,
pada maqam ini seorang sufi telah menyaksikan efek (atsat) nama dan sifat
Tuhan, sehingga dalam ibadahnya seolah-olah berada dihadapan-Nya. Persyaratan
yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah,
zuhud, tawakal, tafwid, rida, dan ikhlas.
e.
Syahadah,
pada maqam ini seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih. Syahadah terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu
mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan tingkat paling
rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk secara ‘ainul yakin, yang
merupakan tingkat paling tinggi.
f.
Siddiqiah,
adalah istilah yang menggambarkan pencapaian hakikat yang makrifat, yang
diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yakin, ‘ain al yakin, dan haqq al-yakin.
Seorang sufi yang sudah mencapai derajat siddiq akan menyaksikan hal-hal gaib,
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dirinya.
g.
Qurbah,
maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri
dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang
dirumuskan oleh al-Jilli dalam upaya mendekati Tuhan. Namun satu hal yang perlu
diketahui dari perkataan al-Jilli adalah: “Mengetahui zat yang maha tinggi itu
secara kasyaf ilahi, kamu di hadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulu dan
ittihad, sebab hamba adalah hamba, dan Tuhan adalah Tuhan atau sebaliknya.”
Dengan demikian, meskipun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia
tetap tidak menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.[5]
5.
Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah
al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu
al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke
empat dari anak-anak Ismail. Dia adalah seorang zahidah, zahid perempuan yang
dapat menghiasi lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah.
Dia termasyhur karena mengemukakan
dan membawa versi baru dalam hidup keruhanian, dimana tingkat zuhud yang
diciptakan Hasan al-Bashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh
Rabi’ah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang suci murni tidak
mengharapkan apa-apa.
Cinta murni kepada Tuhan adalah
puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair
dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa
yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah
satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk
yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku
untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada
Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun
kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain
Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini:
“Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena
kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia
ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang
memisahkan dirinya dengan Tuhan.[6]
Tentang apa
yang dimaksud dengan al-Mahabbah, Harun Nasution mengatakan bahwa pengertian
yang diberikan kepada al-Mahabbah antara lain sebagai berikut: (1) Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. (2) Menyerahkan
seluruh diri kepada yang di kasihi, (3) Mengosongkan diri dari segala-galanya
kecuali dari yang dikasihi.[7]
Jika ketiga
pengertian ini dihubungkan kepada Rabi’ah al-Adawiyah maka riwayat-riwayat yang
menerangkan tentang dirinya dan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa dia adalah pelopor sekaligus pengamal ketiga pengertian
mahabbah tersebut. Pertama, ia dikenal sebagai orang yang sangat taat kepada
Allah. Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi di mana ia tidak
mau untuk berbagi kasih, misalnya dengan sebuah perkawinan. Ketiga, dirinya
kosong dari segala-galanya kecuali Allah, di mana dia tidak menyisakan sedikit
ruangpun untuk mencintai selain Allah, bahkan Muhammad SAW, dan juga tidak
menyisakan hati untuk membenci bahkan iblis sekalipun.[8]
6.
Al-Hallaj
Nama besarnya adalah Abu Wusith
Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj Muhammad Al-baidhowi. Lahir di Thur, salah satu
desa dekat Baida di Persia, pada tahun 244 H dan meninggal tahun 309 H. dan
merupakan salah seorang murid dari Sahl bin Abdullah At Tusturi dan berguru
pula pada Amar Al-Makki dan Al-Juanaid.
Al-Hallaj hidup di zaman
pemerintahan khalifah Al-Maktadirbillah. Dan ia kawin dengana nak Abu Ya’kub
Al-Aqtha’. Pernah dua kali ia ditahan polisi kerjaan Abbasiyah dan atas
perintah perdana menteri Ibnu Isa dalam tahun 913 H. Al-Hallaj dipenjara selama
8 tahun.
Ajaran-ajarannya banyak dilukiskan
berupa puisi atau terkandung prosa. Adapun sari teorinya adalah tentang: Hulul,
An Nurul Muhammad dan perdamaian seluruh Agama. Dan isinya tidak berbeda denagn
teori Ibnu ‘Araby yaitu :
a.
Al-Hulul
Yaitu bersatunya Al-Khaliq dengan makhluk, menjelmalah Tuhan kepada
dirinya apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan
batiniyah maka pada mulanya ia muslim, lalu mukmin, lalu shaleh dan yang
terakhir muqarrab pada Allah setelah ia sampai pada Hulul.
b.
An-Nurul
Muhammadiyah
Cinta kepada Allah adalah sebagai cinta yang pertama dan cinta
kepada Muhammad sebagai cinta kedua, sebab Muhammad adalah penjelmaan yang Esa,
Dialah yang batin dalam hakikat dan lahir dalam ma’rifat. Jadi Muhammad sendiri
sebagai Abdullah dan Aminah serta sebagai Nur yang terlimpah, Allah memancarkan
diri-Nya kepada sesuatu yang dinamai Muhammad.
c.
Perdamaian
Seluruh Agama
Agama
islam menuju pada Allah. Jadi antara agama yang satu dengan yang lain tak ada
bedanya, hanya perbedaan jalan saja dan itu merupakan taqdir Allah tak perlu
diperselisihkan, maksud dan tujuannyapun sama, yeitu kembali pada Allah.
Akibat dari ajaran-ajaran tersebut,
beliau dihukum pancung oleh pemerintah, karena dianggap membahayakan dan merupakan
ajaran yang sesat.[9]
7.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah
tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia
dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi
(Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah)
merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya.
Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang
sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena
itulah Ibnu Taimiyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani.
Namun dalam sejarah dan perkembangan
masyarakat, memilih kehidupan bersufi, seringkali disalah pahami dan
diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan,
dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya
dapat dianggap musyrik, pengikut bid’a, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam.
Pandangan al-Jailani di atas nampak
bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan
pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha
menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam
kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa
berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua
makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak
terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya
dengan manusia harus seimbang.
Al-Jailani adalah seorang sunni yang
dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang
berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh
al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi yang
berafiliasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan “usaha
manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang
fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah
swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau
yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt.
memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta
menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan
dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia
(al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu
karena usaha mereka. Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendapat bahwa
manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga
berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Jadi jelaslah di sini bahwa
al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah
sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan
peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani
menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani
dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba,
manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala
hikmahnya.[10]
B.
Tokoh-Tokoh Tasawuf Nusantara
1.
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf
Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota
Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara
Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan
pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya
diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang
menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau
meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat,
seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang
paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah). Keahlian
beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan
sastra.
Di bidang tasawuf misalnya, beliau
merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran
tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur
al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan
lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan
bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan
tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti
ayat berikut:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ
اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“…Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.”
Beliau memaknai ayat itu, adalah ”Kami terlebih dekat-yakni
bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan-daripada urat
lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang
membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai
jiwa dan dijadikan tiik konsentrasi dalam uaha mencapai persatuan. Meski
demikian, Hamzah juga mengembangkan ajaran-ajaran tersebut berdasarkan
pengalaman rohaniahnya sendiri.
Dalam menyebarkan pemikirannya,
beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda
dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa,
ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari pihak istana,
sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa
Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri,
beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan
dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak
dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda Aceh. Beliau juga menguasai bahasa Arab, Persia,
Urdu, dan merupakan penulis yang produktif, yang menghasilkan bukan hanya
risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya- karya prosa yang sarat dengan
gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku syairnya, antara lain; Syair Burung
Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol,
dan Syair Perahu. Adapun karangan-karangannya dalam bentuk kitab ilmiah, antara
lain; Asrarul ’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat Tauhid, Syarbul ’Asyiqin,
Al- Muhtadi, Ruba’i Hamzah al Fansur.[11]
2.
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din
Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri
ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan
di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang
tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di
India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian
dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah
pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Adapun karangan yang termasuk bidang tasawuf, antara lain; Lathaif al-Asrar,
Nubdzah fi ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahman, Hilal azh zhil, Ma ’al-Hayat li ahl
al-mamat, Fath al-Mubin’ala al-Mulhidin, Syifa al-Qulub, Hidayat al-Iman bi
fadl al-Manan, Aqaid Ash-Shufiyah al-Muwahhidin, Rafiq al-Muhammadiyah fi
thariq Ash Shufiyya, Jawahir al-’Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin
al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga
kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah
ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para
pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut Ahmad
Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa tentang
kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan membolehkan
membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah. Buku yang
sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak
sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri,
Syamsuddin al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap
kafir, Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan
Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti
keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran
tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam
dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan
sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau
ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Setelah menetap di Aceh, beliau dikenal sebagai seorang ulama dan penulis
produktif.
Beliau juga merupakan salah satu
ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga menjadikannya
sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.
Ternyata kejayaan Nuruddin di Aceh tidaklah lama, setelah Sultan
Iskandar Tsani wafat (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah
Safiatuddin, anak Iskandar Muda (1641-1675), maka bersamaan dengan itu
datanglah dari Mekkah seorang ulama asal Minangkabau bernama Saiful Rijjal ke
Aceh. Ia merupakan seorang penganut faham Wujudiyah Hamzah Fansuri. Perseteruan
Nuruddin dengan Wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang ulama Wujudiyah
Saiful Rijal. Akibatnya, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa
sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum
fi Kasyf al-Ma’lum. Ia meninggal di kota kelahirannya, Ranir, dalam tahun 1658
M.[12]
3.
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf
Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh
utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama
lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya
tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/
1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat
Aceh. Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M.
Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab,
membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di
daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar
dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza.
Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad
Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau
pun kembali ke kampung halamannya di Aceh.
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang
ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal dengan
nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah
dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap murtad.
Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri
ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli
menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati
demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut
paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Al-Sinkli juga mempunyai
pemikiran tentang dzikir.
Dalam pandangannya, dzikir merupakan
suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati
selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud
selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.
Karya-karya al-Sinkli antara lain, Mi’rat at-Thullab, Hidayat al-Balifhah,
Umdat al-Muhtajin, Syams al-Ma’rifah, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf,
Turjumah al-Mustafidah. Karya-karyanya itu pun digunakan oleh kaum muslimin di
wilayah Asia Tenggara. Karya yang ditulisnya adakalanya dengan bahasa Melayu
maupun Arab. Sebagian besar berkaitan dengan masalah fiqih, ibadah, dan
tasawuf. Semua tulisannya yang berbahasa Melayu diorientasikan pada kondisi
Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya. Dengan
demkian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik.[13]
[1] M. Jamil,
Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm. 114 dikutip
langsung (tidak langsung) oleh M. Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf,
Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm
173-174
[2] Modul Studi
Islam I
[3] http://fauzunnaimhukum.blogspot.co.id/2013/02/tokoh-tasawuf-dan-ajarannya.html
diakses pada tanggal 21 November 2015 pukul 0.07
[4] M. Jamil,
Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hal. 150 dikutip
langsung (tidak langsung) oleh M. Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf,
Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), op.cit.,
hlm 176
[5] Sofwan Iskandar,
S.Ag. dan Ali Nuru Sobahi, S.H.I, Panduan Belajar Mandiri Aqidah Akhlak (Depok:
CV Arya Duta, 2014), hlm. 8-9
[6]
http://anitapartupeker.blogspot.co.id/2013/04/makalah-tokoh-tokoh-tasawuf-dan.html
diakses pada tanggal 21 November 2015
pukul 0.08
[7] M. Moh. Toriquddin, Sekularitas
Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), op.cit., hlm 183
[8] Ibid, hlm. 183
[9] http://www.metafisika-center.org/2013/11/tokoh-tokoh-sufi-dan-ajaran-ajarannya.html diakses pada
21 November 2015 pukul 0.09
[10] Modul Studi
Islam I
[11]
http://taurylubiz.blogspot.co.id/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html
diakses pada 21 November 2015 Pukul
13.34
[12] Ibid
[13] Ibid