Senin, 30 Mei 2016

Tokoh Tasawuf Beserta Ajarannya

BAB XII
Tokoh – Tokoh Tasawuf Beserta Ajarannya

A.    Tokoh – Tokoh Tasawuf
1.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali. Ia dipanggil al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M.
Di dalam tasawufnya, al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathahat  mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Ia sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas[1].

Aqidah dan Madzhab Beliau[2]

Dalam masalah fiqih, beliau seorang yang bermadzhab Syafi’i. Imam Adz Dzahabi menjelaskan madzhab fiqih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz Zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi aqidah beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermadzhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi madzhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam madzhab tersebut. Oleh karena itu, beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam madzhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikannya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, al-Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasiaan aqidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 2/628).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim.

2.      Al-Muhasibi[3]
a)      Riwayat Hidup
Al-Muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di Basrah dan mengabiskan sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-harist Al-Muhasibi. Ia mengambangkan psiokologi moral yang paling ketat dan paling berpengaruh di tradisi tasawuf. psikologi Al-Muhasibi bias ditemukan dalam karya-karya Abu Tholib Al-Makki, yang mempengaruhi pemikiran Abu Hamdi Al-Ghozali. Hingga saat ini karya utama dari Al-Muhasibi adalah kitab Al-Ar’ayat Lilhukukillah yang mendalami berbagai bentuk idealisime tentang berbagai bentuk egeolisme.
b)      Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
Al-harist bin Asad Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. tatkala mengambil madzhab-madzhab yang dianut umat islam, Al-muhasibi menemukan kelompok di dalamnya. di antara mereka, ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. namun jumlah mereka sangat sedikit. sebagian besar dari mereka adalah ornag-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
Al-muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketaqwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan meneladani Rasulullah. menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal di atas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf.Ia akan meneladani rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
c)      Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-muhasibi mengatakan, ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasar pada kitab dan sunah. Al-muhasibi menjelaskan tahapan – tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a.       Taat, yaitu, wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah.
b.      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
c.       Manusia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini di simpan Allah
d.      Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana yang menyebabkan baka’
d)     Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Khauf dan Raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna, bila berpegang pada Al-Qur’an dan Assunah. dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.

3.      Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian istilah wahdah al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentral nya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Kalau antara khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut Ibn Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai Wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakikat Alam tidak mempunyai wujud  sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli dan madzhar (penampakan) Tuhan. Alam ini merupakan madzhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk Dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.[4]

4.      Al-Jilli
Al-Jilli mempunyai nama asli Abdul Karim bin Ibrahim al Jilli. Ia lahir di Jilan (Gilan) sebelah selatan Laut Kaspia pada tahun 1365 M, dan wafat pada tahun 1417 M. Menurut sejarah ia pernah mengadakan perjalanan sampai ke India pada tahun 1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani. Seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal.
Ajaran tasawuf al-Jilli yang terkenal adalah konsep insan kamil (manusia sempurna). Menurutnya, insan kamil adalah nuksah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, dan mendengar. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Pada hakikat penciptaan manusia, Adam merupakan insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
Lebih lanjut, al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan bisa melihat dirinya, kecuali dengan menggunakan cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin insan kamil.
Insan kamil menurut konsep al-Jilli adalah perencanaan zat Allah (nuktah al haqq) melalui proses tajalli, sekaligus proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW. Insan kamil bagi al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak al wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu, insan kamil dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam.
Menurut al-Jilli, seseorang yang ingin mencapai kedekatan dengan Allah, maka ia harus menempuh jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau dalam istilah tasawuf disebut maqamat. Sebagai seorang sufi, al-Jilli dengan konsep insan kamilnya merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi, yang dia namakan al-martabah (jenjang atau tingkatan). Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
a.       Islam, yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
b.      Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alam yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
c.       Salat, yakni dengan maqam ini seorang sufi akan mencapai tingkat ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah pada maqam ini adalah untuk mencapai miqtah ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan menaati syariat Tuhan dengan baik.
d.      Ihsan, pada maqam ini seorang sufi telah menyaksikan efek (atsat) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya seolah-olah berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwid, rida, dan ikhlas.
e.       Syahadah, pada maqam ini seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Syahadah terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan tingkat paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk secara ‘ainul yakin, yang merupakan tingkat paling tinggi.
f.       Siddiqiah, adalah istilah yang menggambarkan pencapaian hakikat yang makrifat, yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yakin, ‘ain al yakin, dan haqq al-yakin. Seorang sufi yang sudah mencapai derajat siddiq akan menyaksikan hal-hal gaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dirinya.
g.      Qurbah, maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan oleh al-Jilli dalam upaya mendekati Tuhan. Namun satu hal yang perlu diketahui dari perkataan al-Jilli adalah: “Mengetahui zat yang maha tinggi itu secara kasyaf ilahi, kamu di hadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulu dan ittihad, sebab hamba adalah hamba, dan Tuhan adalah Tuhan atau sebaliknya.” Dengan demikian, meskipun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.[5]

5.      Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Dia adalah seorang zahidah, zahid perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah.
Dia termasyhur karena mengemukakan dan membawa versi baru dalam hidup keruhanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan al-Bashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:

Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.

Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.[6]
Tentang apa yang dimaksud dengan al-Mahabbah, Harun Nasution mengatakan bahwa pengertian yang diberikan kepada al-Mahabbah antara lain sebagai berikut: (1) Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. (2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang di kasihi, (3) Mengosongkan diri dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi.[7]
Jika ketiga pengertian ini dihubungkan kepada Rabi’ah al-Adawiyah maka riwayat-riwayat yang menerangkan tentang dirinya dan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dia adalah pelopor sekaligus pengamal ketiga pengertian mahabbah tersebut. Pertama, ia dikenal sebagai orang yang sangat taat kepada Allah. Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi di mana ia tidak mau untuk berbagi kasih, misalnya dengan sebuah perkawinan. Ketiga, dirinya kosong dari segala-galanya kecuali Allah, di mana dia tidak menyisakan sedikit ruangpun untuk mencintai selain Allah, bahkan Muhammad SAW, dan juga tidak menyisakan hati untuk membenci bahkan iblis sekalipun.[8]

6.      Al-Hallaj
Nama besarnya adalah Abu Wusith Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj Muhammad Al-baidhowi. Lahir di Thur, salah satu desa dekat Baida di Persia, pada tahun 244 H dan meninggal tahun 309 H. dan merupakan salah seorang murid dari Sahl bin Abdullah At Tusturi dan berguru pula pada Amar Al-Makki dan Al-Juanaid.
Al-Hallaj hidup di zaman pemerintahan khalifah Al-Maktadirbillah. Dan ia kawin dengana nak Abu Ya’kub Al-Aqtha’. Pernah dua kali ia ditahan polisi kerjaan Abbasiyah dan atas perintah perdana menteri Ibnu Isa dalam tahun 913 H. Al-Hallaj dipenjara selama 8 tahun.
Ajaran-ajarannya banyak dilukiskan berupa puisi atau terkandung prosa. Adapun sari teorinya adalah tentang: Hulul, An Nurul Muhammad dan perdamaian seluruh Agama. Dan isinya tidak berbeda denagn teori Ibnu ‘Araby yaitu :
a.       Al-Hulul
Yaitu bersatunya Al-Khaliq dengan makhluk, menjelmalah Tuhan kepada dirinya apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan batiniyah maka pada mulanya ia muslim, lalu mukmin, lalu shaleh dan yang terakhir muqarrab pada Allah setelah ia sampai pada Hulul.
b.      An-Nurul Muhammadiyah
Cinta kepada Allah adalah sebagai cinta yang pertama dan cinta kepada Muhammad sebagai cinta kedua, sebab Muhammad adalah penjelmaan yang Esa, Dialah yang batin dalam hakikat dan lahir dalam ma’rifat. Jadi Muhammad sendiri sebagai Abdullah dan Aminah serta sebagai Nur yang terlimpah, Allah memancarkan diri-Nya kepada sesuatu yang dinamai Muhammad.
c.       Perdamaian Seluruh Agama
Agama islam menuju pada Allah. Jadi antara agama yang satu dengan yang lain tak ada bedanya, hanya perbedaan jalan saja dan itu merupakan taqdir Allah tak perlu diperselisihkan, maksud dan tujuannyapun sama, yeitu kembali pada Allah.

Akibat dari ajaran-ajaran tersebut, beliau dihukum pancung oleh pemerintah, karena dianggap membahayakan dan merupakan ajaran yang sesat.[9]

7.      Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani.
Namun dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, memilih kehidupan bersufi, seringkali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’a, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam.
Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia harus seimbang.
Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi yang berafiliasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan “usaha manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt. memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka. Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendapat bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutub pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala hikmahnya.[10]

B.     Tokoh-Tokoh Tasawuf Nusantara
1.      Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf  Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah). Keahlian beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra.
Di bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti ayat berikut:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“…Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.”
Beliau memaknai ayat itu, adalah ”Kami terlebih dekat-yakni bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan-daripada urat lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan tiik konsentrasi dalam uaha mencapai persatuan. Meski demikian, Hamzah juga mengembangkan ajaran-ajaran tersebut berdasarkan pengalaman rohaniahnya sendiri.
Dalam menyebarkan pemikirannya, beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda Aceh.   Beliau juga menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, dan merupakan penulis yang produktif, yang menghasilkan bukan hanya risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya- karya prosa yang sarat dengan gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku syairnya, antara lain; Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Adapun karangan-karangannya dalam bentuk kitab ilmiah, antara lain; Asrarul ’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat Tauhid, Syarbul ’Asyiqin, Al- Muhtadi, Ruba’i Hamzah al  Fansur.[11]

2.      Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Adapun karangan yang termasuk bidang tasawuf, antara lain; Lathaif al-Asrar, Nubdzah fi ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahman, Hilal azh zhil, Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat, Fath al-Mubin’ala al-Mulhidin, Syifa al-Qulub, Hidayat al-Iman bi fadl al-Manan, Aqaid Ash-Shufiyah al-Muwahhidin, Rafiq al-Muhammadiyah fi thariq Ash Shufiyya, Jawahir al-’Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah. Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat. Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir, Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Setelah menetap di Aceh, beliau dikenal sebagai seorang ulama dan penulis produktif.
Beliau juga merupakan salah satu ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.  Ternyata kejayaan Nuruddin di Aceh tidaklah lama, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin, anak Iskandar Muda (1641-1675), maka bersamaan dengan itu datanglah dari Mekkah seorang ulama asal Minangkabau bernama Saiful Rijjal ke Aceh. Ia merupakan seorang penganut faham Wujudiyah Hamzah Fansuri. Perseteruan Nuruddin dengan Wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang ulama Wujudiyah Saiful Rijal. Akibatnya, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Ia meninggal di kota kelahirannya, Ranir, dalam tahun 1658 M.[12]

3.      Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf  Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh. Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung halamannya di Aceh.  Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir.
Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya. Karya-karya al-Sinkli antara lain, Mi’rat at-Thullab, Hidayat al-Balifhah, Umdat al-Muhtajin, Syams al-Ma’rifah, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, Turjumah al-Mustafidah. Karya-karyanya itu pun digunakan oleh kaum muslimin di wilayah Asia Tenggara. Karya yang ditulisnya adakalanya dengan bahasa Melayu maupun Arab. Sebagian besar berkaitan dengan masalah fiqih, ibadah, dan tasawuf. Semua tulisannya yang berbahasa Melayu diorientasikan pada kondisi Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya. Dengan demkian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik.[13]




[1] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm. 114 dikutip langsung (tidak langsung) oleh M. Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm 173-174
[2] Modul Studi Islam I
[3] http://fauzunnaimhukum.blogspot.co.id/2013/02/tokoh-tasawuf-dan-ajarannya.html  diakses pada tanggal 21 November 2015  pukul 0.07
[4] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hal. 150 dikutip langsung (tidak langsung) oleh M. Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), op.cit., hlm 176
[5] Sofwan Iskandar, S.Ag. dan Ali Nuru Sobahi, S.H.I, Panduan Belajar Mandiri Aqidah Akhlak (Depok: CV Arya Duta, 2014), hlm. 8-9
[6] http://anitapartupeker.blogspot.co.id/2013/04/makalah-tokoh-tokoh-tasawuf-dan.html  diakses pada tanggal 21 November 2015 pukul 0.08
[7] M. Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), op.cit., hlm 183
[8] Ibid, hlm. 183
[10] Modul Studi Islam I
[11] http://taurylubiz.blogspot.co.id/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html diakses pada 21 November 2015  Pukul 13.34
[12] Ibid
[13] Ibid